</tr><tr><td valign=top>
قوله [ من كان يؤمن بالله واليوم الآخر ] يعني من كان يؤمن الإيمان الكامل المنجي من عذاب الله الموصل إلى رضوان الله [ فليقل خيرا أو ليصمت ] لأن من آمن بالله حق إيمانه خاف وعيده ورجا ثوابه واجتهد في فعل ما أمر به وترك ما نهي عنه وأهم ما عليه من ذلك : ضبط جوارحه التي هي رعاياه وهو مسئول عنها كما قال تعالى { إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤولا } وقال تعالى { ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد } وآفات اللسان كثيرة
وكذلك قال النبي صلى الله عليه و سلم [ هل يكب الناس في النار على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم ]
وقال : [ كل كلام ابن آدم عليه إلا ذكر الله تعالى وأمر بمعروف ونهي عن منكر ] فمن علم ذلك وآمن به حق إيمانه اتقى الله في لسانه فلا يتكلم إلا بخير أو يسكت
قال بعض العلماء : جماع آداب الخير يتفرع من أربعة أحاديث : ذكر منها قوله صلى الله عليه و سلم [ من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت ] قال أهل اللغة : يقال صمت يصمت - بضم الميم - صمتا وصموتا وصماتا وقال بعضهم في معنى هذا الحديث : إذا أراد الإنسان أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه فليتكلم وإلا فليمسك عن الكلام سواء ظهر أنه حرام أو مكروه أو مباح فعلى هذا يكون الكلام المباح مأمورا بتركه مندوبا إلى الإمساك عنه مخافة أن ينجر إلى المحرم أو المكروه وقد يقع ذلك كثيرا قال الله تعالى { ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد }
واختلف العلماء في أنه هل يكتب على الإنسان جميع ما يلفظ به وإن كان مباحا أو لا يكتب عليه إلى ما فيه الجزاء من ثواب أو عقاب ؟ وإلى القول الثاني ذهب ابن عباس وغيره فعلى هذا تكون الآية الكريمة مخصوصة أي : ما يلفظ من قول يترتب عليه جزاء
وقوله صلى الله عليه و سلم [ فليكرم جاره فليكرم ضيفه ] فيه تعريف لحق الجار والضيف وبرهما وحث على حفظ الجوارح وقد أوصى الله تعالى في كتابه بالإحسان إلى الجار وقال صلى الله عليه و سلم [ ما زال جبريل عليه السلام يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه ] والضيافة من الإسلام وخلق النبيين والصالحين وقد أوجبها بعض العلماء وأكثرهم على أنها من مكارم الأخلاق وقال صاحب الإفصاح : في هذا الحديث من الفقه أن يعتقد الإنسان أن إكرام الضيف عبادة لا ينقصها أن يضيف غنيا ولا يغيرها أن يقدم إلى ضيفه اليسر مما عنده فإكرامه أن يسارع إلى البشاشة في وجهه ويطيب الحديث له وعماد أمر الضيافة إطعام الطعام فينبغي أن يبادر بما فتح الله من غير كلفة وذكر كلاما في الضيافة ثم قال : وأما قوله [ فليقل خيرا أو ليصمت ] فإنه يدل على أن قول الخير خير من الصمت والصمت خير من قول الشر وذلك أنه أمره بلام الأمر لقول الخير وبدأ به على الصمت ومن قول الخير : الإبلاغ عن الله تعالى وعن رسوله صلى الله عليه و سلم وتعليم المسلمين والأمر بالمعروف عن علم وإنكار المنكر عن علم والإصلاح بين الناس وأن يقول للناس حسنا ومن أفضل الكلمات كلمة حق عند من يخاف ويرجى في ثبات وسداد
</font></p></section>
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan :
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala- Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)
dan firman-Nya:
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18)
Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya”.
Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.
Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadis, antara lain adalah Hadis “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadis ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.
Allah berfirman :
“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf : 18)
Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat pembalasan.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya……, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”, menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.
Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadis ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.
Selanjutnya ia berkata: Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadis ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.