Arbain Nawawi

Syarah Arbain Nawawi Ibnu Daqiq 9 / 42
Next       Previous

الحديث التاسع
[عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَانْهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ] رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

لفظ هذا الحديث في كتاب مسلم عن أبي هريرة قال : خطبنا رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : [ يا أيها الناس قد فرض الله الحج عليكم فحجوا ] فقال رجل : أكل عام يا رسول الله ؟ فسكت حتى قالها ثلاثا فقال النبي صلى الله عليه و سلم [ لو قلت نعم لوجبت ولما استطعتم ] ثم قال [ ذروني ما تركتكم فإنما أهلك من كان قبلكم كثرة سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم فإذا أمرتكم بشئ فائتوا منه ما استطعتم وإذا نهيتكم عن شئ فدعوه ] والرجل الذي سأله هو الأقرع بن حابس : كذا جاء مبينا في غير هذه الرواية واختلف الأصوليون في الأمر هل يقتضي التكرار ؟ فاختار أكثر الفقهاء والمتكلمين أنه لا يقتضي التكرار وقال آخرون : لا يحكم باقتضائه ولا منعه بل يتوقف فيما زاد على مرة على البيان وهذا الحديث قد يستدل به من يقول بالتوقف : فإنه سأل فقال : أكل عام ؟ ولو كانت مطلقة يقتضي التكرار أو عدمه لم يقل له النبي صلى الله عليه و سلم [ لو قلت نعم لوجبت ولما استطعتم ] بل ولم يكن حاجة إلى السؤال بل مطلقه محمول على كذا وأجمعت الأمة على أن الحج لا يجب في العمر إلا مرة واحدة بأصل الشرع وأما قوله [ ذروني ما تركتكم ] فهو ظاهر في أن الأمر لا يقتضي التكرار
ويدل هذا اللفظ أيضا على أن الأصل عدم الوجوب وأنه لا حكم قبل ورود الشرع وهو الصحيح عند كثير من الأصوليين وقوله [ لو قلت نعم لوجبت ] دليل للمذهب الصحيح في أنه صلى الله عليه و سلم كان له أن يجتهد في الأحكام وأنه لا يشترط في حكمه أن يكون بوحي وقوله صلى الله عليه و سلم [ وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم ] هذا من قواعد الإسلام المهمة ومما أوتيه صلى الله عليه و سلم من جوامع الكلم ويدخل فيه ما لا يحصى من الأحكام كالصلاة إذا عجز عن بعض أركانها أوبعض شروطها أتى بالباقي وإذا عجز عن غسل بعض أعضاء الوضوء غسل الممكن وكذلك إذا وجبت فطرة جماعة ممن يلزمه نفقتهم وكذلك أيضا في إزالة المنكرات إذا لم يمكنه إزالة جميعها فعل الممكن وأشباه ذلك مما لا ينحصر وهو مشهور في كتب الفقه وهذا الحديث كقوله تعالى { فاتقوا الله ما استطعتم }
وأما قوله تعالى : { يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته } فقيل منسوخة بقوله : { اتقوا الله ما استطعتم }
قال بعضهم : والصحيح أنها ليست منسوخة بها بل هي مفسرة لها ومبينة للمراد منها قالوا : وحق تقاته وهو امتثال أمره واجتناب نواهيه والله سبحانه لم يأمر إلا بالمستطاع فإن الله تعالى قال : { لا يكلف الله نفسا إلا وسعها } وقال تعالى { وما جعل عليكم في الدين من حرج } وأما قوله عليه الصلاة و السلام [ وما نهيتكم عنه فاجتنبوه ] فهذا على إطلاقه لكن إن وجد عذر يبيحه كأكل الميتة عند الضرورة ونحوه فهذا لا يكون منهيا عنه في هذا الحال وأما في غير حال العذر فلا يكون ممتثلا لمقتضى النهي حتى يترك كل ما نهى عنه ولا يخرج عنه بترك فعل واحد بخلاف الأمر وهذا الأصل إذا فهم فهو مسألة مطلق الأمر : هل يحمل على الفور أو على التراخى على المرة الواحدة أو التكرار ؟ ففى هذا الحديث أبواب من الفقه والله أعلم
وقوله [ فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلهم واختلافهم على أنبيائهم ] وذكر ذلك بعد قوله [ ذرنى ما تركتكم ] أراد : لاتكثروا السؤال فربما يكثر الجواب عليه فيضاهي ذلك قصة بنى إسرائيل لما قيل لهم [ اذبحوا بقرة ] فإنهم لو اقتصروا على ما يصدق عليه اللفظ وبادر إلى ذبح أي بقرة كانت أجزأت عنهم لكن لما أكثروا السؤال وشددوا شدد عليهم وذموا على ذلك فخاف النبى صلى الله عليه و سلم مثل ذلك على أمته

Hadis ke 9. MELAKSANAKAN PERINTAH SESUAI KEMAMPUAN

Dari Abu Hurairah, ‘Abdurrahman bin Shakhr ra, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh)” (HR. Bukhari & Muslim)

Penjelasan :

Hadis ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia, Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang bertanya : Wahai Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana “ya” niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya, kemudian beliau bersabda lagi :Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.

Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama, apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya. Hadis ini dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?” sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata “Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya wajib dilakukan satu kali seumur hidup.

Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli fiqh.

Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib” menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan wahyu.

Kalimat, “apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan kalimat yang singkat namun padat dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam, termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung banyaknya, diantaranya adalah sholat, contohnya pada ibadah sholat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu. Begitu pula dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya, juga dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas banyaknya. Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab fiqh. Hadis diatas sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan, 3:102, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas. Sebagian ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah berfirman, QS. Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya” dan firman Allah dalam QS. Al-Hajj, 22:78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan agama”.

Kalimat, “apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali apabila seseorang mengalami rintangan udzur dibolehkan melanggarnya, seperti dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan. Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan tersebut dalam selang waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadis ini mengandung berbagai macam pembahasan fikih.

Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu” maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.

Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah SAW khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya.

Catatan

Next | Previous