الحديث السادس Dari Abu Abdullah An-Nu’man bin Basyir ra berkata,”Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yanaram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. (HR. Bukhari dan Muslim) Penjelasan : Hadis ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata, “Islam bersumber pada empat (4) hadis.” Dia sebutkan diantaranya adalah hadis ini. Para ulama telah sepakat atas keagungan dan banyaknya manfaat hadis ini. Kalimat, “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hokum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia adalah halal, seperti firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kamu hal-hal yang baik dan makanan (sembelihan) ahli kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kamu selain dari yang tersebut itu” dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi haram, seperti firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu ..” dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kamu memburu hewan didarat selama kamu ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan hukuman tertentuatau siksaan atau ancaman keras, maka perbuatan itu haram. Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah . Pada hadis tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alas an sabda Rasulullah, “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang” kalimat ini menunjukkan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadis ini tidak dapat dikatakan halal atau haram, karena Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh karena itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga. Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadis dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk seterusnya. Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari perempuan yang melahirkannya, secara formal anak laki-laki itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah adalah saudara laki-laki Saudah, istri Rasulullah , karena Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini berdasarkan suatu dugaan yang kuat bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak laki-laki itu karena adanya syubhat dalam masalah itu. Jadi tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, sebab jika memang pasti dalam pandangan Rasulullah anak laki-laki itu adalah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain. Pada Hadis ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121) Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu” Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam : Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. Misalnya makan daging hewan yang tidak pasti cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari sikap ini adalah hadis ‘Adi bin Hatim seperti tersebut diatas. Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, seperti seorang laki- laki yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang perempuan budak atau sudah dimerdekakan. Hal seperti ini hukumnya mubah hingga diketahui kepastian haramnya, dasarnya adalah hadis ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu tentang hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci. Seseorang ragu-ragu tentang sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya pada kasus sebuah kurma yang jatuh yang beliau temukan dirumahnya, lalu Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya” Adapun orang yang mengambil sikap hati-hati yang berlebihan, seperti tidak menggunakan air bekas yang masih suci karena khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang bersih karena khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian karena khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, sikap semacam ini tidak perlu diikuti, sebab kehati-hatian yang berlebihan tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, karena dalam masalah tersebut tidak ada masalah syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam. Kalimat, “kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui tentang halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, jika ia mengetahui sebenarnya atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya pasti halal atau haram. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hokum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar. Kailmat, “maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya menjaga dari perkara yang syubhat. Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini dapat terjadi dalam dua hal : Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan perkara syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam perkara haram, atau karena sikap sembrononya membuat dia berani melakukan hal yang haram, seperti kata sebagian orang : “Dosa-dosa kecil dapat mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran” Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram. Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran syari’at. Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini adalah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa membuat pagar agar hewan peliharaannya tidak masuk ke daerah terlarang dan membuat ancaman kepada siapapun yang mendekati daerah terlarang tersebut. Orang yang takut mendapatkan hukuman dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari daerah tersebut, karena kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri hingga tidak mampu mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia membuat pagar agar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah seperti membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya adalah hal-hal yang tidak patut didekati karena khawatir terjerumus dalam perbuatan itu. Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya” yang dimaksud adalah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota tubuh yang paling terhormat, karena ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali karena menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, karena itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya” Allah menyebutkan bahwa manusia dan hewan memiliki hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan manusia dalam segala jenisnya mampu melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan manusia dengan karunia akal disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi karena mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau telinga untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan anggota tubuh lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota tubuh tinggal melaksanakan keputusan akal itu, jika akalnya baik maka perbuatannya baik, jika akalnya jelek, perbuatannya juga jelek. Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan jelas sabda Rasulullah, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. Kita memohon kepada Allah semoga Dia menjadikan hati kita yang jelek menjadi baik, wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.
[عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحَمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حَمَى اللَّهُ مَحَارِمَهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ] رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
هذا الحديث أصل عظيم من أصول الشريعة قال أبو داود السجستاني : الإسلام يدور على أربعة أحاديث ذكر منها هذا الحديث وأجمع العلماء على عظيم موقعه وكثير فوائده
قوله [ إن الحلال بين وإن الحرام بين وبينهما أمور مشتبهات ] يعني أن الأشياء ثلاثة أقسام : فما نص الله على تحليله فهو الحلال كقوله تعالى { أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم } وكقوله { وأحل لكم ما وراء ذلكم } ونحو ذلك وما نص الله على تحريمه فهو الحرام البين مثل قوله تعالى { حرمت عليكم أمهاتكم وبناتكم } { وحرم عليكم صيد البر ما دمتم حرما } وكتحريم الفواحش ما ظهر منها وما بطن وكل ما جعل الله فيه حدا أو عقوبة أو وعيدا فهو حرام وأما الشبهات فهي كل ما تتنازعه الأدلة من الكتاب والسنة وتتجاذبه المعاني فالإمساك عنه ورع وقد اختلف العلماء في المشتبهات التي أشار إليها النبي صلى الله عليه و سلم في هذا الحديث فقالت طائفة : هي حرام لقوله [ استبرأ لدينه وعرضه ] قالوا : ومن لم يستبرئ لدينه وعرضه فقد وقع في الحرام وقال الآخرون : هي حلال بدليل قوله صلى الله عليه و سلم في الحديث [ كالراعي يرعى حول الحمى ] فيدل على أن ذلك حلال وأن تركه ورع وقالت طائفة أخرى : المشتبهات المذكور في هذا الحديث لا نقول إنها حلال ولا إنها حرام فإنه صلى الله عليه و سلم جعلها بين الحلال البين والحرام البين فينبغي أن نتوقف عنها وهذا من باب الورع أيضا وقد ثبت في حديث الصحيحين من حديث عائشة رضي الله عنها قالت : اختصم سعد بن أبي وقاص عبد بن زمعة في غلام فقال سعد : يا رسول الله هذا ابن أخي عتبة بن أبي وقاص عهد إلي أنه إبنه أنظر إلى شبهه وقال عبد بن زمعة هذا أخي يا رسول الله ولد على فراش أبي من وليدته فنظر رسول الله صلى الله عليه و سلم فرأى شبها بينا بعتبة فقال [ هو لك ياعبد بن زمعة الولد للفراش وللعاهر الحجر واحتجبي منه يا سودة ] فلم تره سودة قط فقد حكم رسول الله صلى الله عليه و سلم بالولد للفراش وأنه لزمعة على الظاهر وأنه أخو سودة زوج النبي صلى الله عليه و سلم لأنها بنت زمعة وذلك على سبيل التغليب لا على سبيل القطع ثم أمر سودة بالإحتجاب منه للشبهة الداخلة عليه فاحتاط لنفسه وذلك من فعل الخائفين من الله عز و جل إذ لو كان الولد ابن زمعة في علم الله عز و جل لما أمر سودة بالإحتجاب منه كما لم يأمرها بالإحتجاب من سائر إخوانها : عبد وغيره وفي حديث عدى بن حاتم أنه قال : يا رسول الله إني أرسل كلبي وأسمي عليه فأجد معه على الصيد كلبا آخر قال [ لا تأكل إنما سميت على كلبك ولم تسم على غيره ] فأفتاه رسول الله صلى الله عليه و سلم بالشبهة أيضا خوفا من أن يكون الكلب الذى قتله غير مسمى عليه فكأنه أهل لغير الله به وقد قال الله تعالى في ذلك { وإنه لفسق } فكان في فتياه صلى الله عليه و سلم دلالة على الإحتياط في الحوادث والنوازل المحتملة للتحليل والتحريم لاشتباه أسبابها وهذا معنى قوله صلى الله عليه و سلم [ دع ما يريبك إلى ما لا يريبك ] وقال بعض العلماء : المشتبهات ثلاثة أقسام : منها ما يعلم الإنسان أنه حرام ثم يشك فيه هل زال تحريمه أم لا ؟ كالذى يحرم على المرء أكله قبل الذكاة إذا شك في ذكاته لم يزل التحريم إلا بيقين الذكاة والأصل في ذلك حديث عدي المتقدم ذكره وعكس ذلك أن يكون الشئ حلالا فيشك في تحريمه كرجل له زوجة فشك في طلاقها أو أمة فيشك في عتقها فما كان من هذا القسم فهو على الإباحة حتى يعلم تحريمه والأصل في هذا الحديث عبدالله بن زيد فيمن شك في الحدث بعد أن تيقن الطهارة القسم الثالث أن يشك في شئ فلا يدري أحلال أم حرام ؟ ويحتمل الأمرين جميعا ولا دلالة على أحدهما فالأحسن التنزه كما فعل النبي صلى الله عليه و سلم في التمرة الساقطة حين وجدها في بيته فقال [ لو لا أني أخشى أن تكون من الصدقة لأكلتها ] وأما إن جوز نقيض ما ترجح عنده بأمر موهوم لا أصل له كترك استعمال ماء باق على أوصافه مخافة تقدير نجاسة وقعت فيه أو كترك الصلاة في موضع لا أثر فيه مخافة أن يكون فيه بول قد جف أو كغسل ثوب مخافة إصابة نجاسة لم يشاهدها ونحو ذلك فهذا يجب أن لا يلتفت إليه فإن التوقف لأجل التجويز هوس والورع منه وسوسة شيطان إذ ليس فيه من معنى الشبهة شئ والله أعلم
وقوله صلى الله عليه و سلم [ لا يعلمهن كثير من الناس ] أي لا يعلم حكمهن من التحليل والتحريم وإلا فالذي يعلم الشبهة يعلمها من حيث إنها مشكلة لترددها بين أمور محتملة فإذا علم بأي أصل يلتحق زال كونها شبهة وكانت إما من الحلال أو من الحرام وفيه دليل على أن الشبهة لها حكم خاص بها يدل عليه دليل شرعي يمكن أن يصل إليه بعض الناس
وقوله [ فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه ] مما يشتبه وأما قوله [ ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام ] فذلك يكون بوجهين أحدهما : أن من لم يتق الله وتجرأ على الشبهات أفضت به إلى المحرمات ويحمله التساهل في أمرها على الجرأة على الحرام كما قال بعضهم : الصغيرة تجر الكبيرة والكبيرة تجر الكفر وكما روي [ المعاصي بريد الكفر ] الوجه الثاني : أن من أكثر من مواقعة الشبهات أظلم عليه قلبه لفقدان نور العلم ونور الورع فيقع في الحرام وهو لا يشعر به وقد يأثم بذلك إذا تسبب منه إلى تقصير وقوله صلى الله عليه و سلم [ كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يقع فيه ] هذا مثل ضربه لمحارم الله عز و جل وأصله أن العرب كانت تحمي مراعي لمواشيها ويخرج بالتوعد بالعقوبة لمن قربها فالخائف من عقوبة السلطان يبعد بماشيته عن ذلك الحمى لأنه إن قرب منه فالغالب الوقوع فيه لأنه قد تنفرد الفاذة وتشذ الشاذة ولا ينضبط فالحذر : أن يجعل بينه وبين ذلك الحمى مسافة يأمن فيها وقوع ذلك وهكذا محارم الله عز و جل من القتل والربا والسرقة وشرب الخمر والقذف والغيبة والنميمة ونحو ذلك : لا ينبغي أن يحوم حولها مخافة الوقوع فيها : و [ يوشك ] بكسر الشين مضارع ( أوشك ) بفتحها وهي من أفعال المقاربة و [ يرتع ] بفتح التاء معناها : أكل الماشية من المرعى وأصله إقامتها فيه وبسطها في الأكل وقوله صلى الله عليه و سلم [ ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ] الحديث و ( المضغة ) القطعة من اللحم وهي قدر ما يمضغه الماضغ يعني بذلك صغر جرمها وعظيم قدرها و [ صلحت ] وريناه بفتح اللام و [ القلب ] في الأصل مصدر وسمي به هذا العضو الذي هو أشرف الأعضاء لسرعة الخواطر فيه وترددها عليه
وأنشد بعضهم في هذا المعنى :
( ما سمي القلب إلى من تقلبه ... فاحذر على القلب من قلب وتحويل )
وخص الله تعالى جنس الحيوان بهذا العضو وأودع فيه تنظيم المصالح المقصودة فتجد البهائم على اختلاف أنواعها تدرك به مصالحها وتميز به مضارها من منافعها ثم خص الله نوع الإنسان من سائر الحيوان بالعقل وأضافه إلى القلب فقال تعالى { أفلم يسيروا في الأرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها أو آذان يسمعون بها } وقد جعل الله الجوارح مسخرة له ومطيعة فما استقر فيه ظهر عليها وعملت على معناه : إن خيرا فخير وإن شرا فشر
فإذا فهمت هذا ظهر لك قوله صلى الله عليه و سلم [ ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب ] نسأل الله العظيم أن يصلح فساد قلوبنا يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك يا مصرف القلوب صرف قلوبنا إلى طاعتك
</p></section>
Hadis ke 6. DALIL HALAL DAN HARAM TELAH JELAS
Catatan